Daerah Perbatasan, “Indonesia yang Belum Indonesia”

Disaat masyarakat kota hidup dengan bergemilangan fasilitas yang berkecukupan bahkan lebih, namun jauh dari sudut terpencil dan asing mungkin saja. Mereka hidup dengan keterbatasan ya karena mereka memang tinggal di daerah perbatasan dengan sejuta keterbatasan yang ada. Ironis memang, kita sudah merdeka puluhan tahun tapi tidak berarti bagi masyarakat perbatasan yang selalu hidup dengan keterbatasan.

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di ASEAN bahkan di Dunia, mulai dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Nias sampai pulau Rote tapi apakah sudah merata pembangunannya….??? Jawabannya adalah belum, bahkan Listrik yang digadai-gadai merupakan sumber penerangan nasional belum mampu menyentuh daerah perbatasan dan terpencil lainnya.

Mungkin inilah yang menjadi kelemahan bangsa yang besar dan hal ini bisa dimanfaatkan oleh negara lain untuk menambah daerah kekuasaannya dan ini sudah terbukti dengan lepasnya pulau sipada dan lingitan.

Indonesia, sebagai negara ASEAN yang memiliki wilayah paling luas tidak memiliki ambisi teritorial untuk mencaplok wilayah negara lain. Hal tersebut sangat berbeda dengan negara tetangga kita, Malaysia, yang tidak pernah berhenti untuk memperluas wilayahnya. Usaha itu di antaranya dengan mengakuisisi pulau-pulau dalam sengketa dan memindah-mindah patok perbatasan darat seperti yang dilakukan oleh Malaysia terhadap Indonesia di mana titik-titik perbatasan darat Indonesia – Malaysia di Pulau Kalimantan selalu digeser oleh Malaysia. Akibat dari aktivitas ilegal Malaysia itu wilayah kita semakin sempit sementara wilayah Malaysia semakin luas. Perkembangan terakhir dalam konsep strategi maritim Malaysia (dengan membangun setidaknya tiga pangkalan laut besar di Teluk Sepanggar, Sandakan dan Tawau) menunjukkan bahwa mereka semakin serius “mengarah ke timur” alias ke perairan antara Kalimantan dan Sulawesi.

Ambisi teritorial Malaysia tidak hanya dilakukan terhadap Indonesia. Kisah sukses Malaysia dalam merebut Pulau Sipadan dan Ligitan dengan cara membangun kedua pulau tersebut saat ini sedang diterapkan oleh Malaysia di Kepulauan Spratley yang menjadi sengketa banyak negara (a.l. Malaysia, China, Vietnam, Philipina) juga dibangun oleh Malaysia. Indonesia yang menjunjung kejujuran dan menganggap bahwa wilayah dalam sengketa tidak boleh dibangun justru dikalahkan oleh hakim-hakim Mahkamah Internasional yang menganggap bahwa pemilik pulau adalah pihak yang peduli dengan wilayahnya. Bukti kepedulian adalah dengan melakukan pembangunan di wilayah tersebut. Mungkinkah Malaysia akan mengulang suksesnya di Sipada dan Ligitan dalam kasus Kepualauan Sprateley? Sumber by klik DISINI

Memang perlahan ketegasan kepemimpinan itu mulai luntur, tidak seperti zamannya Presiden Soekarno yang berani dan dengan tegas mengucapkan perang jika NKRI diganggu oleh bangsa lain. Kini dari 2 periode kepemimpinan Pak SBY yth, hampir saja pulau Ambalat diambil lagi oleh negara tetangga. Dengan gagah mereka masuk ke wilayah perairan kekuasaan Indonesia namun tidak ada tindakan tegas misalnya mengebom AL mereka toh personil Tentara kita jauh lebih banyak. Tapi apa yang pemerintah lalukan dengan gaya soft power pemerintah kita malah membiarkan dengan alasan satu rumpun negara tetangga beberapa kali tetap masuk ke perairan wilayah Indonesia. Apa yang seharusnya pemerintah lakukan, jika melihat kejadian ini bukan tidak mungkin akan terjadi lagi dan lagi….??? Apakah sampai menunggu diambil lagi ya wahai para pemerintah yang berkuasa…

Ada beberapa sich ya mungkin saja bisa diterapkan dalam ketegasan ini misalnya:

  1. Pemerintah berupayan untuk melakukan Pemetaan Kembali pada daerah atau yang menjadi batas Perbatasan Indonesia dengan negara yang dekat dan langsung bersinggungan
  2. Bangun sarana dan prasarana yang bisa menjadi ciri atau tanda adanya kekuasaan Indonesia misalnya membangun Jalan di Sepanjang Perbatasan Darat dengan negara tetangga.
  3. Upaya pembangun Wilayah Baru yang bersinggungan dan berdekatan dengan Perbatasan, jangan hanya pembangunan tertuju pada pusat kota atau kota/wilayah yang baik dan laik.
  4. Agar terciptanya kekuatan yang baru dengan menunjukan ciri kekuatan Negara Indonesia bisa dan harus Pembangunan wilayah atau Pangkalan Militer di Dekat Perbatasan agar dapat menjaga wilayah Indonesia.
  5. Salah satu lemahnya adalah diplomasi kita yang jauh dan seperti tidak mempunyai gigi untuk menggigit kali ya, yups Perkuat Diplomasi Internasional untuk dapat membuat birokrasi internasional kepada negara tetangga lain.
  6. Dirikan bangunan dan fasilitas pendidikan dengan adanya Pembangunan Pendidikan sehingga rasa Nasionalisme akan tetap teguh dipegang oleh WNI yang berada di perbatasan ini.

Hal tersebut diatas merupakan sebagian kecil contoh yang kerap terjadi di daerah perbatasan dan jika ini tetap dibiarkan bukan tidak mungkin lagi wilayah kekuasaan Indonesia akan sempit dan mampu dimanfaatkan oleh negara tetangga untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Wilayah perbatasan merupakan cerminan wajah Indonesia terhadap negara tetangga, ironis memang jika logika kita berpikir, kok wajah yang menjadi halaman terdepan tidak ada bukti yang merata. Ibarat tubuh wajah itu merupakan yang pertama dilihat dan dalam prakteknya dan nyatanya hanya dilihatah perut atau yang ditengah saja pembangunannya besar dan kuat tapi yang terdepan tidak diperhatikan, tanya kenapa…???

Tidak hanya daerah perbatasan kesenian khas Indonesia beberapa kali di kliem atau diakui oleh negara tetangga mulai dari Lagu Rasa Sayange, Taria Reog Ponorogo, Batik, Keris dll dan yang anehnya adalah Setelah dikliem atau diakui oleh negara tetangga kita baru ribut, kenapa bukan dari dahulu saya kita patenkan semua kesenian dan kebudayaan kita ke UNESCO jika sudah terdaftar pasti tidak ada yang bisa merebutnya.

Lain lagi dengan hak paten TEMPE yang sudah dahulu di kliem oleh Jepang (Sumber DISINI) itu merupakan contoh yang telah lalu dan apakah akan tetap dibiarkan…??? Jangan sampai kejadian lagi dan pemerintah harus berupaya untuk tetap menjadi NKRI mulai dari wilayah kekuasaan, keseniaan, kebudayaan, makanan khas dll.

Jika kita berbicara lagi mengenai wilayah perbatasaan, banyak memang yang menarik untuk ditulis. Satu hal saja diperkirakan tidak akan cukup karena memang banyak hal yang dapat ditulis dan ini buka hal yang sulit dilihat dan dirasa tapi ini sudah jelas dan tampak didepan mata kita.

Bagi masyarakat yang hidup di daerah perbatasan, seringkali lebih susah. Seperti warga yang tinggal di Desa Entikong di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia Timur). Mereka bahkan lebih mudah mendapatkan barang makanan, minuman dan pakaian dari Malaysia, bahkan mata uang yang digunakan disana adalah mata uang Malaysia padahal itu merupakan wilayah Indonesia. Di sini, produk-produk dari Malaysia kita sebut produk SDN BDH. Kami suka, karena lebih murah, juga gampang mendapatkannya,” ujar pria paruh baya ini. Raden Nurdin, Ketua Persatuan Pemuda Perbatasan Entikong yang ditemui Jawa Pos mengatakan, warga di Entikong sangat tergantung dengan Malaysia. Dia menambahkan, sebagian besar kebutuhan pokok warga Entikong terutama gula, makanan kaleng dan kemasan berasal dari negeri jiran itu. “Karena itu kami lebih suka damai saja dengan Malaysia,” ujarnya (sumber dan info lengkap klik DISINI)

Sedih juga pas kemarin (Malam hari, 09 feb 2011-red) nonton berita di TV yang mengkisahkan perjuangan para tenaga pendidik didaerah perbatasan. Disana diceritakan kalau tidak salah itu namanya desa babad, yang jauh dari indahnya kota-kota megah khas Indonesia. Bahkan untuk sekolah saja mereka tidak ada dan jarak yang terdekat itu ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam, jangankan kendaraan, jalanan saja mereka tidak ada dan satu-satunya transportasi adalah perahu yang ongkos sewanya sangat mahal yaitu Rp. 1,5 jt untuk sekali jalan. Sungguh sedih jika kita yang hidup di kota yang sangat bergelimang fasilitas sementara jauh di perbatasan disana sungguh memprihatinkan.

Dunia pendidikan pun tak luput dari pengamatan penulis ini, ketidaktersediaan SDM guru yang memadai sangat jauh api dari panggang yang artinya kekurangan tenaga guru benar-benar terasa. Bahkan masih sama dengan tayangan TV pada hari tersebut, seorang guru bisa mengajar 2 kelas secara bersamaan dan bukan hal yang asing mereka mengajar beberapa kelas bahkan dalam beberapa hari mereka full mengajar dibeberapa kelas. Belum lagi fasilitas yang sangat jauh dari cukup, jangankan penerangan untuk mengambil gaji per bulan saja mereka harus mengeluarkan kos cek Rp. 1,5 jt untuk sampai pada daerah pengambilan gajinya padahal gajinya itu dibawah Rp. 1 jt, nahh kalau begini bagaimana jadinya ya.

Untuk mencerdaskan generasi mahal sekali bagi guru-guru didaerah perbatasan dan terpencil lainnya, jangan heran kalau mereka tidak bisa berbicara Indonesia karena mereka tidak pernah tersentuh untuk belajar bahasa Indonesia.

Ya inilah tulisan tentang “Daerah Perbatasan, Indonesia yang Belum Indonesia”. Untuk kedepannya diharapkan dimanapun, di daerah manapun baik perbatasan, terpencil maupun daerah lain harus menjadi “Daerah Indonesia yang Indonesia”.

Bandung, 10 Februari 2011 (Pkl 12.00)

Rahman Faisal

 

2 Comments

  1. Mas Rahman punya data atau list nama-nama daerah perbatasan di Indonesia, kemaren saya juga lihat liputan berita, ada daerah perbatasan yang semua fasilitas umum yang vital terlupakan oleh pemerintah pusat….

  2. wah mz knp q baru taw ya,kalo tak liat ni mungkin q sendiri buta akan apa yg udah terjadi dengan negara sendiri ya,,kan sekarang q lg kerja di malaysia,,semoga gk buta lg nanti ma info penting seperti ini,,,


Comments RSS TrackBack Identifier URI

Leave a comment

  • Buku Kedua

  • Buku Pertama

  • Chat With Me

  • Readers

    counter
  • Visitors

    free counters
  • Kamus

    dictionary on your finger
  • ISBN

    Indonesians’ Beautiful Sharing Network
  • My Blog Price